Aku sempat ngungkit tentang masa ketika Sang Pahlawan dalam hidupku berlalu dari dunia ini. Iyah, entah mengapa aku merasa ingin menuliskannya lagi. Sejak tulisan yang tadi, hati ini terasa begitu lelah dengan semua ini. Cengengkah hatiku dan semua kenyataan ini? Well i dun care if u said so...
Tanggal 23 jJanuari 1998, jam dinding kuno di dinding rumah menunjukan jam 09.30an Pagi saat mentari bersinar begitu hangat, burung gereja dengan orkes harian diatap kamarku. Ketika aku terbangun dengan mata kucel dan melangkah menuruni tangga rumah 1..2..3..4.. belum kujejak langkah kelima saat nenek-nenek berteriak " cepat turun, papamu ga nyadarin diri "... kutolehkan kepala ke arah kursi santai di depan jendela ruang tamu. Terlihat mama lagi mencoba buat nyadarin papa, tapi tampaknya Sang Pahlawan terkulai lemas dengan wajah tenang... apakah dia tertidur? aku hanya bisa merasakan kegalauan yang hampa dan kosong tanpa tau harus berbuat apa selain bergegas balik kelantai atas, menuju wc dan secepatnya cuci muka dan gosok gigi untuk mencari ambulance...
"gimana ini? mana si cc dan suami lom kerumah..."
begitu gumam hatiku saat semua itu berlangsung. Ketika sampai dibawah, semuanya
terkesan begitu gaduh.. Pak Bujang, partner setia Sang Pahlawan telah memanggil
ambulance.. Tapi ambulance itu baru tiba 30 menit kemudian... "maaf mas,
tadi sopirnya lagi makan di warung.." Ambulance tanpa sopir cadangan?? yah
itulah Pontianak.. Kota Kecil Hangat Penuh Cerita yang menyedihkan
Sampai di rumah sakit, diruang UGD yang begitu dingin dan angkuh, CC dan mama hanya bisa menangis ketakutan .. Aku diam dan mencoba menenangkan si CC. Shocker jantung menghantam Sang Pahlawan berkali kali.. tapi sepertinya sudah terkulai lemas... Apa yang kau rasakan jika kau ada diposisiku? Melihat seorang figur yang begitu menyayangimu terkulai lemas tanpa respons? haruskah kau sedih seperti si Kakak dan si Mama? Haruskah kau sadari bahwa semua itu akan terjadi cepat atau lambat? Apakah aku salah jika memilih opsi kedua dan mencoba untuk meyakinkan hati tuk melangkah memijaki detik demi detik kehilangan terbesar dan waktu tergelap dalam hidupku itu? Abangku ada diJakarta, begitu juga dengan Si CC ke 2 ... aku satu satunya lelaki dikluarga itu, harus siap untuk tegar menghadapi smua ini...
5 menit perjuangan dokter dan perawat berlalu.. mereka melepaskan masker dan bertingkah seperti sinetron picisan atau bahkan kelas festival.. menggelengkan kepala bahwa mereka telah berusaha semampu mereka...
-Ayah.. selamat tinggal.. Maafkan aku yang tak pernah sempat mengucap maaf atas beberapa tahun pemberontakanku yang begitu naif menolak kasih sayangmu pada anak bungsumu ini.. Maafkan aku tak pernah berkata aku sayang padamu lagi seperti dulu dimasa kecilku waktu aku masih kau ajak ke air terjun, mengajari aku menangkap udang batu disela arus nakal di tempat itu, atau cara bersikap yang benar ditempat umum.. atau bahkan caramu mengajari aku memakai media alat cukil kayu... yang akhirnya membantuku dalam mata kuliah teknik cetak... atau bahkan ajaran tentang kesabaran dan ketelatenan dalam menekuni segala sesuatu.. semua itu tak pernah sempat aku ucapkan terima kasih padamu... tapi.. semua itu masih berbekas di hati dan pikiran ini.. masih kuikuti hingga detik ini... engkaulah pahlawanku.. luv u dad -
Sore harinya di rumah duka, aku dicaci maki oleh sahabat yang datang melayat atas keputusanku untuk tak meneteskan air mata.. -tahukah dia bahwa hatiku terus melolong ingin mengekspresikan semua itu seperti orang lain????-
Kusambut kepulangan abang dan kakakku yang telah bengkak matanya, menangis meraung disisi peti mati dingin berisikan badan dingin beraut wajah tenang dan damai sang pahlawan... caci maki dari sang sobat masih terus terngiang di otakku.. aku mencoba untuk menjadi orang yang bisa dilihat baktinya.. mengurung diri digudang rumah duka, mencoba sekeras hati untuk meneteskan air mata.. tapi aku tak bisa... salahkah aku??? atau.. apakah aku yang saat itu masih dalam masa pemberontakanku justru merasakan kemenangan bagi kenaifanku???
Setelah prosesi pemakaman, kehampaan dalam hatiku mulai menemukan arah, aku memutuskan untuk pertama kalinya, berjanji dihadapan mama, bahwa aku bersalah, aku akan berubah dan akan menyayangi mama sepenuh hati sampai akhir waktuku nanti. Janji bahwa aku tak akan menyentuh rokok, sesuatu yang dianggap mama sebagai masalah utama papa dan abangku masih kupegang hingga detik ini. Ma.. kadang aku khilaf dan menyakiti perasaanmu, tapi tetap kau sabar padaku.. terima kasih atas kesempatan darimu itu...
Masa pemberontakan tanpa hasil yang membahagiakan itu berakhir pada waktu itu. Sejak itu aku berusaha untuk menjadi figur yang lebih dewasa dan lebih perhatian terhadap keluargaku, mengikuti teladan sang pahlawan...
-wen-
Sampai di rumah sakit, diruang UGD yang begitu dingin dan angkuh, CC dan mama hanya bisa menangis ketakutan .. Aku diam dan mencoba menenangkan si CC. Shocker jantung menghantam Sang Pahlawan berkali kali.. tapi sepertinya sudah terkulai lemas... Apa yang kau rasakan jika kau ada diposisiku? Melihat seorang figur yang begitu menyayangimu terkulai lemas tanpa respons? haruskah kau sedih seperti si Kakak dan si Mama? Haruskah kau sadari bahwa semua itu akan terjadi cepat atau lambat? Apakah aku salah jika memilih opsi kedua dan mencoba untuk meyakinkan hati tuk melangkah memijaki detik demi detik kehilangan terbesar dan waktu tergelap dalam hidupku itu? Abangku ada diJakarta, begitu juga dengan Si CC ke 2 ... aku satu satunya lelaki dikluarga itu, harus siap untuk tegar menghadapi smua ini...
5 menit perjuangan dokter dan perawat berlalu.. mereka melepaskan masker dan bertingkah seperti sinetron picisan atau bahkan kelas festival.. menggelengkan kepala bahwa mereka telah berusaha semampu mereka...
-Ayah.. selamat tinggal.. Maafkan aku yang tak pernah sempat mengucap maaf atas beberapa tahun pemberontakanku yang begitu naif menolak kasih sayangmu pada anak bungsumu ini.. Maafkan aku tak pernah berkata aku sayang padamu lagi seperti dulu dimasa kecilku waktu aku masih kau ajak ke air terjun, mengajari aku menangkap udang batu disela arus nakal di tempat itu, atau cara bersikap yang benar ditempat umum.. atau bahkan caramu mengajari aku memakai media alat cukil kayu... yang akhirnya membantuku dalam mata kuliah teknik cetak... atau bahkan ajaran tentang kesabaran dan ketelatenan dalam menekuni segala sesuatu.. semua itu tak pernah sempat aku ucapkan terima kasih padamu... tapi.. semua itu masih berbekas di hati dan pikiran ini.. masih kuikuti hingga detik ini... engkaulah pahlawanku.. luv u dad -
Sore harinya di rumah duka, aku dicaci maki oleh sahabat yang datang melayat atas keputusanku untuk tak meneteskan air mata.. -tahukah dia bahwa hatiku terus melolong ingin mengekspresikan semua itu seperti orang lain????-
Kusambut kepulangan abang dan kakakku yang telah bengkak matanya, menangis meraung disisi peti mati dingin berisikan badan dingin beraut wajah tenang dan damai sang pahlawan... caci maki dari sang sobat masih terus terngiang di otakku.. aku mencoba untuk menjadi orang yang bisa dilihat baktinya.. mengurung diri digudang rumah duka, mencoba sekeras hati untuk meneteskan air mata.. tapi aku tak bisa... salahkah aku??? atau.. apakah aku yang saat itu masih dalam masa pemberontakanku justru merasakan kemenangan bagi kenaifanku???
Setelah prosesi pemakaman, kehampaan dalam hatiku mulai menemukan arah, aku memutuskan untuk pertama kalinya, berjanji dihadapan mama, bahwa aku bersalah, aku akan berubah dan akan menyayangi mama sepenuh hati sampai akhir waktuku nanti. Janji bahwa aku tak akan menyentuh rokok, sesuatu yang dianggap mama sebagai masalah utama papa dan abangku masih kupegang hingga detik ini. Ma.. kadang aku khilaf dan menyakiti perasaanmu, tapi tetap kau sabar padaku.. terima kasih atas kesempatan darimu itu...
Masa pemberontakan tanpa hasil yang membahagiakan itu berakhir pada waktu itu. Sejak itu aku berusaha untuk menjadi figur yang lebih dewasa dan lebih perhatian terhadap keluargaku, mengikuti teladan sang pahlawan...
-wen-
No comments:
Post a Comment